Yang Aku Rasakan Pelik
Aku memendam perih yang selama ini kupupuk. Kini hasilnya adalah sakit yang mulai aku panen.
Menjelang akhir agustus. Bulan di mana aku mulai merasakan perbedaan di antara aku dan kamu. Momen di mana aku menyadari bahwa aku bukanlah figur yang kini kamu prioritaskan lagi. Pada bulan ini aku denial atas segala bukti-bukti yang dilempar dari segala penjuru mata angin ke arahku. Aku mencintaimu dalam batin yang aku perjuangkan dengan gelap mata.
Nyaris setahun berlalu. Aku mengatakan aku sudah melupakan itu. Aku sudah berdamai dan memintamu untuk mencari bahagia yang kamu pilih sendiri jalannya. Meninggalkanku bersama luka yang hingga kini masih menjadi koreng. Tak kunjung kering.
Aku memaafkanmu dengan kesadaran penuh. Dilandasi niat yang tulus dan pesan kebaikan, aku tak ingin kamu mengingat kembali sakit yang dahulu kamu bangun di belakangku. Aku menghiraukan semua luka ini hanya untuk menjadi pria yang masih runtuh tatkala harus melihat air mata penyesalanmu jatuh.
Pikirku saat itu, “Mungkin aku ada kurangnya. Mungkin memang akulah penyebab kita berdua kehilangan arah”.
Semalaman aku melamun. Berandai-andai jika semua ini adalah dosa yang tercipta karena aku pernah membuatmu menangis. Dan kemudian saat semuanya terjadi. Aku bercengkrama bersama pedih dalam waktu yang lama. Tenggelam. Dalam. Tertekan.
Seiring waktu jiwaku sedikit membaik. Sampai akhirnya aku berani bertemu denganmu untuk kesekian kalinya pasca semua prahara itu. Sekadar memastikan raga dan batinmu sehat. Bahkan di kondisi sebrutal itu aku masih mampu memikirkan kesehatanmu yang porak-poranda.
Bagiku, diriku adalah tanggungjawab yang hanya aku sendiri bisa sembuhkan. Aku menyudahi perang itu untuk menikmati rasa kedewasaan ini. Menyadari bahwa semuanya — harusnya — tidak perlu begini.
Jadi aku mengikhlaskanmu berjalan pada arah berlawanan. Kita menulis ulang setiap cerita dari nol. Dari kita yang mencoba untuk beradaptasi.
Kita sudah sejauh seperti sebelum kita kenal. Tak ada jumpa wajah, kabar ataupun rasa. Kita bahkan menghindari hal-hal sensitif untuk menghargai prinsip kita masing-masing.
Di sini aku mulai membaik. Berbenah dari segala lini. Tubuhku menggemuk, nafsu makanku tinggi, pertemananku semakin meluas, hobi yang aku bangun berjalan dengan baik. Juga etos kerjaku perlahan meningkat.
Setiap malam bagiku adalah malam yang indah. Aku mulai terbiasa tanpa kehadiranmu lagi. Aku menatap ponsel dengan tenang, tanpa sekalipun terpikir untuk mengganggumu kembali. Walau sesekali tegur sapa tetap kurajut lewat pesan singkat. Sebagai bagian dari fase merindu yang saat itu menjamahku.
Aku nyaris setahun ini membaik.
Tapi cepat atau lambat aku mulai mempertanyakan kebahagian yang selalu aku cari seperti saat bersamamu dulu. Bukan berarti aku tak bahagia sekarang. Aku kehilangan cinta.
Rasa itu mereka sebut trauma. Perasaan itu bagiku dulu tak nyata. Tapi belakangan trauma ini membuatku lelah. Aku merenungi lagi kepergianmu. Apakah caraku mengikhlaskan sudah tepat atau ada yang harus kulakukan? Aku tak mau ambil pusing.
Namun aku tahu satu hal. Aku tidak sekuat itu. Badanku gemetar diikuti cemas berlebihan. Aku menatap diriku adalah najis yang tidak boleh ada satupun wanita yang bisa menyayangiku. Jelas sudah aku merasa tidak pantas. Acapkali yang kulakukan salah dan bisa jadi aku hanya akan mengulangi hal serupa : kembali jatuh dan menangis sampai mata kering.
Sedih ini mendayu di dalam kepalaku. Aku mulai menemukan akar masalah itu. Yang intinya aku menyayangkan kebahagiaan yang tak kunjung aku temui. Untuk membuktikannya aku mampir untuk melihat kehidupanmu kembali. Awal pertama aku kuat sekali. Arjuna itu adalah aku. Tapi tidak untuk kali kedua.
Pada kali kedua itu aku runtuh. Dunia di kakiku seperti menghisap seluruh tanah yang kutapaki.
Aku melihat senyummu bersamanya. Aku melihat gelangmu dan gelangnya. Aku melihat fotonya di sorotan sosial mediamu. Bahkan matamu seperti berkata kamu mulai mencintainya. Dari cara kalian membangun hubungan itu, aku malu pada diriku sendiri. Aku memelas. Kebahagiaan itu justru dimenangkan olehmu. Kalian berdua.
Dahulu aku bersembunyi. Aku melakukan itu karena aku mencintaimu. Situasi yang kulihat sangat menantang. Jadi mengikuti apa katamu adalah cara terbaik untuk selamat hingga bisa memilikimu selamanya.
Aku tidak pernah ada di sorotanmu. Aku tidak pernah berpergian ke suatu acara besar bersamamu. Aku tak sempat berfoto sebahagia itu saat kita dahulu bersama. Justru rangkulan hangat baru kulakukan saat kita bukan lagi sejoli.
Aku menerima tegar itu sebagai pria yang rapuh.
“Mungkin hanya ada satu bintang. Yang dapat menghiasi hatimu.” — Antique Band.
Gemetar badanku. Dengan tangis yang kutahan sekali lagi, aku lemas. Kalian adalah dendam kesumat yang aku tanam rupanya.
Barangkali memang bukan akulah orangnya. Barangkali memang semua ini adalah takdir yang belum bisa aku terima. Dan barangkali … aku harus sadar bahwa masa itu adalah imajinasi yang tak pernah ada.
Rasa sakit yang kutahan dahulu ternyata subur di liang terdalam. Di sebuah relung hati yang akupun tak tahu itu ada. Sekarang, menjelang satu tahun ini, aku memanen sakitnya. Kelak aku akan melakukan panen raya atas kejatuhan yang sempat membunuhku itu.
Aku masih berkelut pada gelap gulita. Lekaslah terang jalan lurus menuju kebahagiaan itu, Diriku.